Minggu, 10 Mei 2009

HUKUM HUMANITER

Pertama-tama, dibutuhkan suatu definisi. Apa arti hukum humaniter internasional? Kerangka hukum ini dapat diartikan sebagai prinsip dan peraturan yang memberi batasan terhadap penggunaan kekerasan pada saat pertikaian bersenjata.

Tujuannya adalah:

· Memberi perlindungan pada seseorang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat secara langsung dalam pertikaiann – orang yang terluka, terdampar, tawanan perang dan penduduk sipil;

· Membatasi dampak kekerasan dalam pertempuran demi mencapai tujuan perang.

Perkembangan hukum internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan dengan hukum tentang perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan hak asasi manusia setelah Perang Dunia Kedua.

Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang hak asasi manusia – seperti DUHAM (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandangan bahwa semua orang berhak menikmati hak asasi manusia, baik dalam keadaan damai maupun perang.

Tiga arus utama memberi kontribusi terhadap penyusunan hukum humaniter internasional. Ketiga arus itu adalah “Hukum Jenewa,” diberikan oleh Konvensi dan Protokol internasional yang terbentuk berdasarkan sponsor Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dengan perhatian utama pada perlindungan korban pertikaian; “Hukum Den Haag,” berdasarkan hasil Konperensi Perdamaian di ibukota Belanda pada 1899 dan 1907, yang pada prinsipnya mengatur sarana dan metode perang yang diizinkan; dan usaha-usaha PBB menjamin penghormatan hak asasi manusia pada pertikaian bersenjata dan membatasi penggunaan senjata-senjata tertentu

Bersama empat rekannya, Hennri Dunant lalu membentuk Komite Internasional untuk Pertolongan bagi Orang yang Terluka (kemudian diubah namanya menjadi Komite Palang Merah Internasional). Ide Dunant mendapat tanggapan luas. Pada beberapa negara didirikan perkumpulan nasional dan dalam Konperensi diplomatik di Jenewa 1864, delegasi dari 16 bangsa Eropa menetapkan Konvensi untuk Perbaikan Kondisi terhadap Tentara yang Terluka dalam Perang.

Dokumen ini, Konvensi Jenewa Pertama, mencakup aturan pokok universal dan toleransi dalam hal ras, kebangsaan dan agama. Sebagai lambang, palang merah dengan latar belakang putih, ditetapkan sebagai tanda pengenal bagi personel kesehatan militer. Di Negara Islam, lambang ini berupa bulan sabit merah berlatar belakang putih. Sejak itu staf dan fasilitas kesehatan dianggap netral.

Konvensi Jenewa ini secara formal meletakkan dasar-dasar hukum humaniter internasional

Dalam waktu singkat terlihat jelas perlunya memperluas ruang lingkup Konvensi Jenewa Deklarasi St. Petersburg 1868, meminta Negara-Negara tidak menggunakan senjata yang mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu. Deklarasi ini melarang penggunaan senjata peledak Konperensi Perdamaian di Den Haag pada 1899 dan 1907 menetapkan konvensi-Konvensi hukum dan tata cara perang, serta deklarasi yang melarang praktek-praktek tertentu, termasuk pemboman terhadap kota yang tidak mempunyai pertahanan, penggunaan gas beracun dan peluru berhulu lunak.

Pada 1906 Konvensi Jenewa Pertama diperbaiki untuk memberi perlindungan yang lebih besar terhadap korban perang di darat, dan pada tahun berikutnya seluruh ketentuan tersebut diperluas dengan pertempuran di laut.

Perang Saudara di Spanyol (1936-1939) dan Perang Dunia II (1939-1945) merupakan bukti kuat bagi perlunya meninjau kembali hukum humaniter internasional agar sesuai dengan sifat perang yang berubah. Keputusan diambil untuk membuat langkah awal dan ditetapkanlah Konvensi Jenewa yang baru, mencakup penghormatan atas: orang yang sakit dan terluka dalam pertempuran darat (Konvensi Pertama), anggota militer yang terluka, sakit dan terdampar (Konvensi Kedua), tawanan perang (Konvensi Ketiga), dan korban dari penduduk sipil (Konvensi Keempat). Konvensi-Konvensi ini ditetapkan dalam suatu Konperensi diplomatik internasional yang diselenggarakan di Jenewa pada April sampai Agustus 1949.

Konperensi Diplomatik tentang Penegasan kembali dan Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang diselenggarakan di Jenewa sejak 1974 sampai 1977 menetapkan dua Protokol Tambahan pada Konvensi 1949.

· Protokol I mengatur perlindungan bagi korban akibat pertikaian internasional.

· Protokol II tentang korban akibat pertikaian bersenjata dalam negeri, termasuk pertikaian antara angkatan bersenjata pemerintah dan pemberontak atau kelompok teroganisir lain yang menguasai sebagian wilayah, tetapi tidak mengatur gangguan dan ketegangan dalam negeri dalam bentuk kerusuhan, atau tindak kekerasan yang bersifat tertutup dan sporadis

Ada beberapa upaya khusus untuk melindungi perempuan dan anak-anak dan wartawan dalam tugas yang berbahaya harus diperlakukan sebagai orang sipil. Perlakuan khusus juga diberikan pada petugas kesehatan, baik sipil maupun keagamaan, dan terhadap transportasi peralatan dan persediaan obat-obatan. Peraturan yang sama juga terdapat dalam Protokol II berkenaan dengan situasi pertikaian internal.

Dalam sengketa bersenjata internasional, ada ketentuan-ketentuan yang tegas yang melibatkan polisi di dalamnya. Dalam keadaan ini polisi memiliki peran:

1. Memberikan layanan yang tidak bertentangan dengan kenetralan atau status kawasan yang tak dipertahankan (pasal 59 (2) Protokol Tambahan I) dan zona demiliterisasi (pasal 60 (3)),

2. Perlindungan masyarakat berupa “bantuan darurat dalam pemulihan dan pemeliharaan ketertiban di kawasan bencana” (Pasal 61 (a) (xi) Protokol I),

3. Atas permintaan angkatan bersenjata bergabung ke dalam angkatan bersenjata ((PI, pasal 43 (3)),

4. Dalam kaitannya dengan tanggung jawab penerapan dan penyebarluasan hukum humaniter polisi juga harus memiliki naskah Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Konvensi Jenewa IV. pasal 144 (2),

5. Pemolisian medan perang (pasal 15 Konvensi Jenewa I, pasal 18 Konvensi Jenewa II).

Bagaimana dengan kerusuhan dan ketegangan dalam negeri? Menurut Gen. (Ret) D. K. Arya dalam kaitannya dengan ketentuan pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 terdapat pendapat yang kuat, yang menyatakan bahwa ketentuan pasal 3 yang bersamaan ini tidak hanya berlaku dalam sengketa bersenjata internal tetapi juga mencakup semua jenis operasi (operasi-operasi selain perang) baik ini disebut sengketa atau bukan.

Kehendak memberlakukan asas-asas hukum humaniter ini juga ditegaskan dalam Deklarasi Standar Minimum Kemanusiaan, atau yang sering disebut Turku Declaration, yang menegaskan berlakunya prinsip ini dalam segala keadaan, mencakup: kekerasan, kerusuhan, ketegangan dan darurat umum dalam negeri.

Dalam keadaan adanya kekerasan dan ketegangan dalam negeri, polisi sebagai petugas penegak hukum harus tetap memikul tanggung jawab utama dalam penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban. Dalam kaitan ini, maka penegakan hukum merupakan faktor yang sangat penting dalam menangani kerusuhan dan ketegangan internal. Bentuk-bentuk tindakan yang ditargetkan secara khusus, sah, tidak sewenang-wenang dan tepat yang ditujukan kepada para pemrakarsa (inisiator) dan para pelaku kerusuhan dan ketegangan dapat mengarah kepada penegasan kembali pengendalian dan peredaan keadaan tersebut. Tindakan asal-asalan, tidak sah dan sewenang-wenang serta diskriminatif akan mengikis kepercayaan pada penegakan hukum, mengancam keamanan lebih lanjut dan sekurang-kurangnya untuk sebagian bertanggung jawab bagi keterpurukan keadaan lebih jauh.

Penanganan kerusuhan dan ketegangan internal oleh polisi dan bukan angkatan bersenjata adalah sesuai dengan karakteristik dari keduanya, yaitu:

1. Misi keduanya berbeda. Misi polisi adalah melindungi semua orang dari tindakan yang tidak sah dan melayani masyarakat. Angkatan bersenjata memiliki misi untuk mempertahankan wilayah negara dari intervensi asing

2. Tujuan mereka tidak sama. Polisi dan pasukan keamanan dalam melaksanakan misinya menggunakan dua kata kunci layani dan lindungi. Angkatan bersenjata memiliki kata kunci “kalahkan” musuh yang mengancam dan menyerbu negara.

3. Bahasa mereka berbeda. Dalam melaksanakan misi mereka polisi dan pasukan keamanan berhadapan dengan “warganegara”, yang harus mereka pelakuan tanpa diskriminasi. Dalam kaitan ini, maka pendekatan mereka terhadap warga perorangan harus netral. Dalam operasi militer yang tujuannya untuk mengalahkan musuh, dalam batas-batas yang ditentukan oleh kepentingan militer dan keseimbangan, maka (segala cara) dibenarkan untuk mencapai tujuan tersebut.

4. Operasi mereka berbeda. Polisi dan pasukan keamanan memiliki kedekatan, yaitu memiliki kontak yang dekat dan pribadi dengan warganegara. Acapkali operasi polisi didasarkan pada tindakan perorangan dari petugas polisi. Dalam operasi polisi pertama-tama harus diupayakan cara-cara bukan kekerasan, yakni dengan mengadakan komunikasi, yang memerlukan ketrampilan sosial dari polisi bersangkutan. Penggunaan senjata api dianggap sebagai hal yang luar biasa, dan penggunaan senjata api mematikan hanya diperbolehkan untuk melindungi nyawa. Sebaliknya, operasi angkatan bersenjata “relatif jauh”, hubungan dekat dan pribadi dengan perajurit lawan merupakan pengecualian. Tindakan perorangan oleh polisi, pada angkatan bersenjata biasanya dilakukan oleh kelompok pada tingkat kompi, batalyon, resimen dan/atau divisi. Operasi angkatan bersenjata terkait dengan tindakan permusuhan, dengan penggunaan senjata api mematikan merupakan upaya pertama. Penggunaan senjata api mematikan lebih merupakan aturan daripada pengecualian, dan menjadi sifat pelaksanaan misi operasi militer. Selain itu angkatan bersenjata tidak dilatih dan dilengkapi dengan alat-alat non kekerasan dalam keadaan tertentu dalam keterlibatan mereka secara aktif.

5. Kehadiran mereka berbeda. Polisi dan pasukan keamanan dapat membedakan kehadiran mereka berdasarkan gentingnya keadaan tertentu. Apakah polisi berpakaian sipil, seragam, atau perlengkapan huru-hara dengan perlengkapan pelindung, mobil yang ditandai atau tidak ditandai, polisi dan pasukan keamanan dapat memberikan tanggapan yang diperlukan oleh keadaan, dengan suatu kesan yang mungkin berbeda antara kehadiran”terselubung” dan kehadiran “agresif” (seperti oleh polisi huru hara). Kehadairan angkatan bersenjata bahkan bahkan dalam bentuknya yang paling dasar, tak dapat dihidarkan menyebarkan kesan permusuhan dan menimbulkan dugaan konfrontasi.

6. Kapasitas mereka tidak sama. Polisi dan pasukan keamanan umumnya kompeten melakukan operasi yang tidak memerlukan lebih sekedar penggunaan senjata api insiddental. Kompetensi angkatan bersenjata mulai apabila kompetensi polisi dan pasukan keamanan berakhir.

Apabila kerusuhan atau kekerasan dan kegegangan dalam negeri tersebut meningkat sedemikian rupa sehingga mengancam keselamatan atau kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, negara dapat mengumumkan keadaan darurat. Dengan adanya keadaan daurat tersebut, maka negara dapat melakukan tindakan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan hak asasi manusia. Ini, ditegaskan dalam pasal 4 ICCPR

Dalam keadaan darurat boleh dilakukan penyimpangan terhadap peraturan-perundang-undangan dan hak asasi manusia yang berlaku dalam keadaan biasa, seperti pembatasan bergerak, larangan keluar rumah, melakukan penggeledahan, membatasi pemberitaan oleh media massa. Namun, perlu diingat ada hak-hak asasi yang tak boleh disimpangi karena merupakan intisari (hard core) dari hak-hak asasi manusia. Hak-hak ini lazimnya disebut sebagai non derogable rights. Hak-hak yang tak dapat dicabut ini adalah: (1) hak hidup, (2) larangan penyiksaan, (3) larangan perbudakan (4) larangan penahanan karena hutang (5) hak diperlakukan sebagai orang (pribadi) di depan hukum (6) larangan berlaku surutnya aturan hukum pidana (7) hak kebebasan pendapat, keyakinan dan agama (pasal 4.2, pasal 6, 7, 8, 11, 15, 16, 18 ICCPR).

Di dalam UU Hak Asasi Manusia No. 39/1999 ditagaskan dalam pasal 4 sebagai berikut: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Hak-hak asasi yang tak dapat disimpangi ini berlaku sepenuhnya dalam keadaan apa pun, termasuk keadaan darurat bahkan juga dalam keadaan perang.

Dalam keadaan demikian, masih ada kesenjangan dalam penerapan hukum di bidang ini. Untuk mengisi kesenjangan ini diperlukan pendekatan baru untuk melindungi orang perorangan. Inilah yang melatarbelakangi penerimaan Deklarasi Standar Minimum Kemanusiaan, atau yang sering disebut Turku Declaration, yang menegaskan berlakunya prinsip ini dalam segala keadaan, mencakup: kekerasan, kerusuhan, ketegangan dan daurat umum dalam negeri dan tak dapat disimpangi dalam keadaan apa pun.

Dokumen Standar Minimum Kemanusiaan yang disusun oleh oleh kelompok pakar hak asasi manusia dan hukum humaniter itu, memberikan pedoman dalam melakukan tindakan operasional dari badan-badan penegak hukum selama keadaan kerusuhan dan ketegangan dalam negeri atau dalam keadaan darurat umum, terdiri atas 18 pasal dan mengatur hal-hal berikut:

1. lingkup dan tujuan ketentuan (pasal 1)

2. persamaan dan non diskriminasi (pasal 2)

3. hak-hak pribadi dan tindakan-tindakan yang dilarang dalam segala keadaan (pasal 3)

4. aturan yang berkaitan dengan pencabutan kebebasan (pasal 4)

5. larangan serangan terhadap orang yang tidak ambil bagian dalam tindakan kekerasan, penggunaan kekerasan harus berdasarkan keseimbangan, larangan penggunaan sennjata yang dilarang (pasal 5)

6. larangan tindakan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan teror di antara penduduk (pasal 5),

7. aturan yang berkaitan dengan pemindahan (displacement) (pasal 7)

8. ketentuan mengenai hak untuk hidup (pasal 8)

9. aturan yang berkaitan dengan proses hukum dan putusan (pasal 9)

10. perlindungan anak (pasal 10),

11. tempat yang ditunjuk, interniran (internment), penahanan administratif (pasal 15)

12. personil kesehatan dan agama (pasal 14)

13. organisasi kemanusiaan dan kegiatan mereka (pasal 15)

14. perlindungan atas hak kelompok, minoritas dan (suku) bangsa (peoples) (pasal 16)

15. ketentuan penutup (pasal 18).

Sabtu, 02 Mei 2009